Posted by : Toke Balap
Senin, 20 April 2020
Mitos dan cerita seram- Hantu korban kecelakan
Aplikasi notepad pada ponselku sejak tadi kosong. Tidak satu
pun huruf terketik hari ini. Tadi aku sempat membayangkan sesuatu yang seram.
Aku membayangkan sedang berada di pemakaman yang gelap dan sunyi, tapi entah
kenapa, aku berpikir bahwa itu bukan hal yang seram.
Aku juga mencoba membayangkan sedang berada di salah satu
hutan angker di Gunung Arjuna, tapi bayangan itu pun tidak menyeramkan.
Satu-satunya hal menyeramkan yang terlintas di pikiranku adalah membayangkan
kamu menolak pinanganku.
Tapi aku segera menepis bayangan itu, karena selain sangat
menyeramkan, cerita tentang itu pun tidak mungkin kutulis.
Akhirnya aku memilih untuk tetap baring-baring di kasur ini,
sambil membuka-buka chat atau obrolan di beberapa grup Whatsapp. Mudah-mudahan
ada obrolan yang mampu memberiku ide untuk menulis cerita seram.
Suara air hujan yang jatuh di atap seng kamar kosku
terdengar berirama, seperti beberapa orang yang sengaja memukulnya secara
bersamaan.
Sesekali kilat menyambar, kemudian disambung dengan suara
guntur yang menggelegar, menyamarkan suara guyuran hujan pada atap kamarku.
Perutku mulai lapar, tapi aku enggan keluar untuk membeli
seporsi nasi rames. Aku lebih memilih sedikit menahan lapar daripada menembus
derasnya hujan.
Setengah jam berlalu, aku mencoba melihat ke luar. Langit
masih tampak jingga kemerahan. Sepertinya hujan kali ini akan lama. Sementara
cacing-cacing di perutku semakin kencang menggeliat.
Akhirnya aku memutuskan untuk memesan makanan melalui
aplikasi ojek online. Tapi beberapa kali pesananku ditolak. Mungkin para
pengemudinya juga enggan keluar di tengah hujan sederas ini.
Aku mengambil jaket yang tergantung di dinding dan menyambar
kunci motor di atas meja. Setelah mengunci pintu kamar, aku menuju tempat
sepeda motorku terparkir.
Tapi, angin malam yang dingin dipadu dengan percikan air
hujan, seperti membuat semangatku mengkerut. Padahal helem merah kesayanganku
sudah nangkring di kepala. Aku mengurungkan niatku untuk keluar mencari makan
malam.
Suasana malam ini seperti berbeda dengan malam-malam lain.
Dinginnya menusuk hingga ke tulang, padahal jaket yang kukenakan cukup tebal.
Jarum jam pada arlojiku juga masih
menunjukkan pukul delapan malam lewat sedikit.
Aku kembali ke kamar, menyimpan kunci sepeda motor dan
jaket, lalu naik ke tempat tidur dan menyelimuti tubuhku.
Tiba-tiba aku teringat, bahwa aku masih menyimpan dua
bungkus mie instan dan sebutir telur di laci meja. Biasanya aku sarapan
sebungkus mie instan dan telur rebus sebelum berangkat kerja.
"Lumayanlah untuk mengganjal perut sambil menunggu
hujan reda," pikirku sambil mengambil mie instan dan telur itu.
Seperti biasanya, aku menyiapkan panci dan piring untuk
tempat makananku nanti. Sebetulnya aku cukup beruntung mendapatkan tempat kos
seperti ini. Pemilik kos menyiapkan dapur dan peralatan masak. Semuanya bebas
digunakan oleh anak kos.
Bukan hanya menyiapkan peralatan memasak. Asisten rumah
tangga pemilik kos juga bertugas mencuci alat-alat masak itu, kecuali piring
masing-masing anak kos.
Aku merasa sedikit lebih hangat saat berada di dapur. Hawa
panas dari kompor gas cukup mampu mengusir dingin.
Setelah selesai memasak dan menaruh panci di tempat piring
kotor, aku membawa mangkuk berisi mie instan panas itu ke kamarku.
Tapi saat akan keluar dari dapur, aku tersentak. Rudi,
penghuni kos di samping kamarku tiba-tiba berdiri di depan pintu dapur. Padahal
aku ingat sekali, tadi tidak ada siapa pun di situ.
Rudi menatapku tanpa berkedip. Wajahnya pucat. Rambut Rudi
terlihat basah. Mungkin dia kehujanan.
"Anjiiir... Kamu ngagetin aku aja, Ton. Kapan
datang?," tanyaku.
Setahuku Rudi sedang cuti dan pulang kampung sejak tiga hari
lalu. Kampungnya tidak terlalu jauh dari kota ini, hanya sekitar tiga jam
perjalanan jika menggunakan sepeda motor.
Saat berangkat, Rudi mengatakan dia akan menjemput adiknya,
dan akan membawanya ke sini, karena adiknya berencana kuliah di kota ini.
Rudi baru saja akan menjawab pertanyaanku saat ponselku
berdering. Mulutnya sudah terbuka, tapi dikatupkannya kembali.
Aku meletakkan mangkuk mie di meja depan dapur, lalu
mengambil ponsel dari kantong celana. Rupanya alarm ponselku yang berbunyi. Aku
lupa mematikannya tadi.
Tadinya aku memasang alarm karena berniat keluar malam ini.
Tapi hujan yang tadi cukup deras, membuatku membatalkan rencana untuk pergi.
Padahal hari ini belum satu pun berita yang kukirim ke kantor.
"Bro, tadi ada lakalantas (kecelakaan lalu lintas),
waktu aku menuju ke sini. Korbannya dua orang, semuanya meninggal di
tempat," kata Rudi setelah aku memasukkan kembali ponselku.
Perkataan Rudi membuatku batal mengambil mangkuk mie di atas
meja. Maklum saja, profesiku sebagai jurnalis mengharuskan aku mengirim berita
setiap hari. Sementara hari ini tidak ada satu pun yang kukirim.
"Lokasinya di mana, Ton? Kejadiannya jam berapa?,"
tanyaku.
Rudi menjelaskan kronologis kecelakaan itu. Kata Rudi,
korbannya adalah dua pengendara sepeda motor yang berboncengan. Mereka ditabrak
oleh truk yang melaju kencang dari arah yang sama.
"Lokasinya nggak jauh dari terminal. Kalau dari arah
sini, pas di tikungan sebelum jembatan. Truknya masuk ke jalur lambat, jadi
korbannya terpental ke dalam sawah dan mati di tempat," Rudi merinci
lokasi kecelakaan.
Kata Rudi, pengemudi truk melarikan diri bersama truknya,
setelah mengetahui bahwa korbannya meninggal dunia.
"Oke Ton, entar kalau hujan reda aku langsung ke sana,
sekalian cari makan malam. Makasih ya," kataku sambil membawa 'pengganjal
perutku' ke dalam kamar.
Belum cukup dua menit aku berada di kamar, suara hujan di
atap kamarku tiba-tiba berhenti. Spontan aku menengok keluar melalui jendela.
Ternyata hujan sudah reda.
Hanya membutuhkan waktu kurang dari tujuh menit untuk
menghabiskan mie instanku, dan hanya tiga menit untuk berkemas menuju lokasi
kecelakaan.
Tapi, saat aku tiba di tempat yang dijelaskan oleh Rudi,
tidak terlihat bekas-bekas adanya kecelakaan. Tidak ada juga orang berkerumun
seperti layaknya saat menemukan mayat.
Aku mencoba menelusuri pesawahan di pinggir ringroad itu.
Berharap menemukan sepeda motor dan korban lakalantas yang dikatakan Rudi.
Hampir lima menit aku menyusuri tempat itu, sampai akhirnya
aku melihat satu unit sepeda motor tergeletak di parit, di antara pesawahan dan
jalanan.
Sepeda motorku kuarahkan ke tempat itu, lampunya sengaja
kusorot ke arah sepeda motor tersebut. Jantungku berdetak kencang, karena
sepeda motor itu sangat mirip dengan milik Rudi.
Setelah memarkir sepeda motorku, aku bergegas mendekati
sepeda motor di dalam parit. Beberapa meter dari sepeda motor itu, ada dua
orang tergeletak. Tapi aku tidak tahu jenis kelaminnya, karena suasana cukup
gelap.
Jantungku semakin kencang berdetak saat mendekati kedua
orang itu. Aku menyalakan senter pada ponselku, dan menyorot keduanya. Tubuh
dan jaket yang dikenakan sangat mirip dengan milik Rudi. Tapi aku tidak berani
menyentuh apalagi membalikkan sosok
dengan posisi tengkurap itu.
Satu-satunya cara yang aman untuk mengetahui identitas kedua
korban adalah menelepon polisi. Aku memilih langkah itu, dan menelepon Kepala
Satuan Lalu Lintas (Kasatlantas) Polres kota ini.
Tak cukup lima belas menit kemudian, dua unit mobil patroli
polisi tiba di lokasi. Dua di antaranya mengenalku, dan meminta keterangan.
Sementara rekannya yang lain langsung menuju ke arah dua korban lakalantas.
Hanya beberapa menit berselang, aku dan dua polisi kenalanku
menyusul dua rekannya. Kedua polisi itu sudah selesai memeriksa kondisi korban.
"Dua-duanya meninggal dunia. Jenis kelaminnya laki-laki.
Dugaan sementara ini kasus tabrak lari, karena sepeda motornya hancur,"
kata salah seorang dari mereka, sambil mengarahkan senter pada kedua pria itu.
Hampir saja aku pingsan saat cahaya senter menyorot wajah
salah satu korban. Pandanganku kabur dan kepalaku terasa berat saat melihatnya.
Pria yang meninggal itu adalah Rudi.