Posted by : Toke Balap
Minggu, 10 Mei 2020
Bermitos-Kuntilanak Pengunggu asrama Sekelompok perempuan muda menginjakkan kakinya di area LPK ( Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan ). Tawa mereka riang, penuh suka cita menyambut mimpi kecil mereka. Kegembiraan makin bertambah ketika mereka bercengkerama dengan siswa lain dari beragam daerah. Saling menyapa, kemudian berkenalan.
Tak dihiraukan penat yang menyelimuti raga karena kebahagiaan adalah tercapainya harapan dan impian.
Akhirnya kelelahan mulai menghinggapi tubuh mereka hingga berbalut keringat. Peluh pun mulai mengaliri kening dan pelipis yang tak lagi bersih, penuh debu. Ada keinginan tak tertahankan untuk meluruskan kaki-kaki panjang mereka di ranjang berkasur empuk. Huuf! Tubuh mereka butuh istirahat!
Waktu beranjak cepat hingga di ujung senja. Pelatihan di hari pertama usai sudah. Mereka segera berlari menuju asrama putri. Tiba di depan asrama, mereka pandangi bangunan tua berwarna kuning pucat itu. Sebuah bangunan dengan arsitektur klasik dan berjendela kayu jati. Pintu kayu berdiri kokoh menanti penghuni asrama untuk masuk. Di atasnya bertuliskan: Asrama Putri dengan tulisan italic.
Tepat di depan pintu masuk itu tiba-tiba berdiri bulu roma para siswa. Entahlah, ada aura berbeda yang sangat tidak nyaman mereka rasakan. Kulit tangan mendadak dingin, meremang, dan merinding tanpa sebab.
Mereka mengucapkan salam, namun tak terdengar jawaban dari penghuni asrama. Rupanya, kamar-kamar masih sepi. Mereka, sepuluh calon siswa asisten perawat yang akan menghuni asrama ini dan harus tinggal selama setahun lamanya. Ada rasa yang aneh ketika mereka memasuki kamar masing-masing. Begitu juga yang dirasakan oleh Nina, siswa dari Pemalang.
“Kenapa tubuhku terasa dingin dan tidak nyaman sama sekali?” pikirnya.
Ia perhatikan isi kamar satu persatu.
“Tak ada yang aneh dengan kamar ini. Tapi, kenapa kulit tanganku terasa dingin dan kaku? Rasa kantuk yang tadi tak mau kompromi pun tiba-tiba lenyap tak berbekas.” gumamnya dalam hati.
Ia lihat jam dinding. Pukul lima tepat. Tiba-tiba saja, ia dikejutkan oleh suara jeritan dari sebuah kamar. Nina pun segera berlari ke arah suara itu berasal. Ternyata jeritan Lia di kamar sebelahnya! Langkah Nina langsung terhenti seketika begitu melihat tubuh Lia mengejang,
meronta tapi tetap tak mampu bergerak dengan posisi kedua tangan seolah sedang di ikat kuat-kuat. Matanya mendelik merah dengan suara gemuruh, antara jeritan dan erangan. “Aaarrgh…!!!”
Seluruh siswa penghuni asrama yang mengerumuninya segera mundur ke belakang. Tak ada satu pun berani mendekat, bahkan satu per satu lari ketakutan.
“Panggil Ibu asrama!” perintah salah satu siswa kepada Nina yang berdiri mematung, tak tahu hendak berbuat apa. Wajah Nina pucat pasi, tubuhnya gemetaran, dan jantungnya berdetak cepat tak beraturan. Nina pun segera berlari mencari Ibu asrama dengan napas memburu.
Namun ketika Nina kembali ke kamar Lia bersama ibu asrama, Lia sudah normal kembali. Tak ada jeritan atupun erangan. Yang terlihat hanyalah tangisan Lia sambil meracau dan meringkuk ketakutan sambil menutupi wajahnya yang putih.
“Ada yang mengikatku! Ada yang mengikatku!” teriaknya.
“Siapa?” tanya Nina dan teman-temannya.
“Seorang wanita berambut panjang! Wajahnya pucat dan giginya mengkilat! Pokonya aku mau pulang!” jawabnya sambil menangis.
Namun, permintaan Lia urung diteruskan ketika teman-temannya mengingatkan tujuan mereka ke asrama yang mengharuskan belajar di sini. Lia pun akhirnya terdiam, namun isak tangisnya tak jua berhenti.
Menjelang Isya’, Retno yang merupakan siswa paling berani di antara mereka tengah mencuci piring. Namun tiba-tiba ia mendengar suara gedor-gedor dari bawah wastafel, seperti suara seseorang mengetuk-ngetuk dengan palu. Berulang-ulang terus hingga ia kaget, lalu menjerit-jerit minta tolong ketika ia merasa ada yang menyeretnya dari belakang. Seluruh siswa pun akhirnya berdatangan.
Terlihat Retno diseret-seret oleh wanita berambut panjang dan bergaun putih,
lalu di ikat pada tiang dapur. Retno pun meronta-ronta dengan jeritan meminta tolong. Dan, di atas tiang penyangga, duduk dua wanita pucat berambut panjang dengan kaki terjuntai ke bawah dan di ayun-ayunkan sambil tertawa cekikikan. Semua mata para siswa pun terbelalak tak percaya dengan apa yang mereka lihat.